Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Sing Street: Memutuskan Keputusasaan

Gambar
Rilis pada tahun 2016, Sing Street memberi penyegaran bagi penonton film yang sebelumnya dimanja oleh film superheroes. Sing Street merupakan film racikan John Carney, yang dikenal sebagai seorang sutradara, penulis sekaligus komposer. Carney menjadikan tanah kelahirannya, Dublin (Irlandia), sebagai set dalam semesta film Sing Street itu sendiri. Dengan menguasai materi secara menyeluruh, Carney berhasil mendapat score bagus dari IMBD 8.1 dan Metascore 79 untuk Sing Street. Sing Street bercerita tentang seorang remaja bernama Conor Lawlor (a.k.a Cosmo) yang mengalami berbagai tekanan, baik dari keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Orangtua Conor mengalami kebangkrutan dari sektor ekonomi dan asmara. Ibunya yang diketahui selingkuh membuat suasana malam sering diramaikan oleh pertengkaran. Untung saja Conor memiliki kakak yang woles, Brendan Lawlor. Melalui Brendan inilah Conor mengenal dan mempelajari musik lengkap dengan falsafahnya. Conor terpaksa belajar di sekolah baru

Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi

Gambar
Tinggal menghintung hari saya akan punya adik tingkat lagi. Bukan apa-apa, hanya saja saya tidak ingin takabur kalau dianggap pertapa suci. Sebagai mahasiswa babak akhir yang tak segera diakhiri, saya sebenarnya sudah cukup lelah dengan keterkejutan muda-mudi maba (mahasiswa baru) ketika saya menyebut bilangan tak wajar dalam tingkatan semester. Mereka yang bercita-cita menyelesaikan kuliah dalam delapan semester tentu terheran-heran mengetahui level studi saya jauh di atas itu. Daripada disebut terheran-heran, lebih tepatnya mereka ketakutan setengah mati kalau nasib mereka bakal seperti saya. Sebab, tidak jarang yang masuk jurusan saya itu muda-mudi salah jurusan. Sama-sama tahulah rasanya kuliah di jurusan yang tidak diinginkan dan akhirnya mencapai fase stuck tidak tahu mana ujungnya. Bisa dibayangkan bagaimana muda-mudi maba dengan mata berbinar-binar menatap masa depan itu tiba-tiba saja syok melihat pertapa skripsi seperti saya. Seolah impian dan cita-cita indah mere

Kematian Alayist di Semesta Facebook

Gambar
Banyak di antara kita yang berpendapat jika facebook adalah barang lama, usang dan gak layak pakai. Bahkan ada yang merasa jijik macam najis mugholadoh gitu. “Yaelaah.. hari gini masih fesbukan? Instagram dong, Path dong..” . Banyak nyinyiran yang ditujukan pada user facebook yang masih aktif, tapi tetap yang paling hits adalah nyinyiran “Facebook? Alay!” . Sebagai aktivis perfesbukan tentu saya merasa bingung dan tratatapan . Lha wong yang posting di IG atau Path saja kadang muncul di Facebook juga kok. Bahkan ada pula yang masih repot-repot upload foto bekas upload -an IG di beranda facebook. Hingar bingar itu saya cuekin saja, kalau kontennya mengganggu ya saya stop following , kalau enggak yaudah saya biarin. Klaim alay yang melekat di facebook ini tak ubahnya catatan buruk dalam sejarah facebook di Indonesia. Karya Mark Zuckerberg ini ngeksis di Indonesia tepat saat saya duduk di bangku SMA. Sekolah saya itu statusnya agak paradoks. Dibilang anak gaul kota enggak, kar

Maaf Ya Kawan

Gambar
Malam lebaran, ketika jalanan yang biasanya hening berubah menjadi lautan manusia dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kesunyian berubah menjadi hingar-bingar pestanya para animal simbolicum. Ketika itu pula saya duduk termenung di meja kerja, mencoba berpikir dan merasa, barangkali ada sesuatu yang perlu saya lakukan. Jujur saja, saya ini orang yang kelewat sombong sampai jarang sekali meminta maaf di kala lebaran. Entah kenapa rasanya kok berat kalau saya meminta maaf tanpa tahu salah saya apa. Sudah menyakiti orang lain, pas minta maaf pakai kata-kata kopi paste standar lebaran itu kok kesannya kurang ajar sekali. Dalam benak saya ada yang harus lebih didahulukan daripada meminta maaf, yaitu memaafkan. Saya percaya memaafkan lebih berat daripada minta maaf. Jika yang menghalangi seseorang untuk minta maaf adalah ego, maka penghalang seseorang untuk memaafkan adalah dendam. Berbuat jahat pada orang lain lalu minta maaf itu standar. Kalau dijahati lalu memaafkan itu

Lebaran dan Hantu-Hantu Hedonis

Gambar
Pulang dari acara buka bersama, saya menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli cemilan dan sekaleng kopi. Pada saat antri di kasir, saya dapati pembeli lain dengan belanjaan yang kurang masuk akal kalau untuk dihabiskan dalam satu malam. Sirup empat botol, segepok permen, dua lodong astor dan satu gembrengan biskuit. Mata saya kemudian menerawang di balik pintu kaca minimarket sambil bergumam: “inikah yang dimaksud ‘hilal’ sudah terlihat?”. Di daerah saya, untuk mengenali tibanya Hari Raya Idul Fitri sangatlah mudah. Ada beberapa gejala visual yang selalu terjadi: lihat orang belanja siang malam, lihat kembang api, lihat manusia dimensi lain jual uang baru, lihat beras, dan lihat orang-orang minta maaf tapi masih tidak sadar salahnya di mana. Jika semua gejala itu sudah terjadi, maka sudah bisa dipastikan lebaran jatuh pada esok harinya. Hal ini kontras sekali dengan yang saya tahu di Tajikistan melalui buku Garis Batas (Agustinus Wibowo). Tepatnya di Yamchun ada dialog