Postingan

7 Hal Yang Bisa Dilakukan Saat Sendirian dan Bosan

Gambar
Saya yakin semua orang pasti pernah mengalami saat-saat di mana ia sedang sendirian dan merasa bosan. Saya yakin ada masa dimana kita bangun tidur, tidak ada rencana mau ngapain dan bingung mau ngapain. Beberapa diantaranya akhirnya stuck scrolling timeline doang, beberapa diantara yang lain meronta-ronta minta temennya ngajak main. Sayangnya, scrolling timeline seharian penuh malah bisa menimbun kebosanan itu sendiri. Dan bergantung pada temen juga gak selalu berhasil. Pasalnya, tidak semua temen punya waktu luang yang bersamaan. Apalagi kalau mereka kuliah atau kerja, kesibukan sudah jadi konsumsi individu yang tidak bisa diganggu gugat. Lalu gimana dong? Saran saya sebaiknya jalani saja apa yang kamu suka meski sendirian. Bagi saya ‘sendiri’ sudah jadi hal biasa yang saya jalani sejak SMP. Jadi apa yang saya tulis ini sudah melalui riset panjang, huahahahaha. Oke, langsung saja yuk simak berikut adalah hal-hal yang bisa kita lakukan saat sendiri dan merasa bosan: Menonton

Diskusi Film: Intel, Sensor dan Sutradara Bajingan

Gambar
Malam minggu 14 Mei 2016 saya datang ke acara Pesta Film Solo #6 yang mengusung tema Postalgia. Tema ini berbicara tentang film era 90-an, mengingat era tersebut film Indonesia mengalami kemacetan bahkan bisa dibilang dark age-nya film Indonesia. Acara ini diadakan oleh Kineklub Fisip UNS di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Kalau tahun lalu saya datang masih ada gandengan, tahun ini sendirian saja. Paragraf gak penting. Skip. Saya datang di hari kedua sesi keempat, tak lain tak bukan adalah untuk menyaksikan film Bulan Tertusuk Ilalang (1995) garapan sutradara kondang, Garin Nugroho. Apalagi beliau hadir sebagai pembicara dalam diskusi yang bejudul “Dirikan Fondasi, Bangkitlah Industri”. Wah, ternyata masih ada judul berima seperti ini, kupikir lagi trend-nya judul-judul lugas. Hm, baiklah langsung saja ini yang saya ingat dari diskusi waktu itu: Setelah menyaksikan film Bulan Tertusuk Ilalang, moderator mempersilahkan para pembicara naik keatas panggung. Dimulai dari Garin Nugroho

Kami Tidak Segera Lulus, Karena Kami Divergent

Gambar
Tulisan ini saya persembahkan bagi mereka yang menempuh pendidikan perguruan tinggi strata sarjana. Khususnya yang sudah menempuh masa studi hingga semester sepuluh, sebelas, dan seterusnya. ANDA TIDAK SENDIRI! Saat ini saya sedang menempuh semester 10, dan sangat memungkinkan (atau bahkan dipastikan) saya akan lanjut ke level berikutnya, semester 11. Sedangkan teman-teman saya satu angkatan sudah banyak yang lulus, mungkin yang tersisa tinggal tiga atau empat orang. Entah. Jalan yang kami tempuh berbeda-beda. Hidup saya mulai berubah saat masuk semester 9. Saya menjadi lebih antisosial dari sebelumnya, yang dulu ambivert kini jadi lebih introvert, lebih tidak pedulian, lebih diam dan lebih banyak melakukan hal sia-sia. Fase ini memang berat bagi sebagian orang, dan biasa bagi sebagian yang lain. Kalau bagi saya, ini berat. Bukan karena baper lihat teman-teman lulus, tapi karena beasiswa udah dihentikan. Tidak ada sponsor buat mkeneruskan hobi lagi. Haha. Fase pancarob

Tentang Pantai Hingga Gunung di Solo dan Orang-orang Sinis

Gambar
Saya lahir dan besar di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Meski demikian, jika ada orang yang baru kenal lalu tanya saya orang mana, saya pasti jawab “orang Solo”. Iya, saya Solo tulen! Buktinya sekarang saya jomblo. Oke. Skip. Tulisan ini sebenarnya diawali dengan keresahan saya saat buka facebook. Ada postingan dari akun TravelingYuk dalam album foto “Traveling Yuk ke Solo”. Saya pribadi tidak ada masalah dengan tempat-tempat yang disarankan, yang jadi masalah adalah saat saya membaca kolom komentar. Komentar paling mainstream adalah; “wah, sejak kapan Solo punya pantai wkwkwk”, “admin ngawur, itu semua bukan di Solo”, hingga “terakhir aku ke Merbabu masih di Boyolali, sekarang pindah Solo, tho?” dan nada sinis lainnya. Baik, saya rasa cukup pembukaannya, mari kita segera bicarakan tentang Solo dan Surakarta saja. 1. Melihat Solo-Surakarta dalam Perspektif Sejarah Sangat panjang jika harus menulis sejarah Solo, mari kita peringkas saja. Solo dan Su

A Copy of My Mind : Cinta dan Seks dalam Intervensi Kapital

Gambar
Sejak Februari kemarin telah rilis sebuah film terbaru karya Joko Anwar, A Copy of My Mind. Layaknya Joko dalam film-film sebelumnya, kali ini ia (tentu) menyajikan karya yang benar-benar keluar dari tema-tema mainstream. ACMM adalah representasi kehidupan anak muda ‘susah’ di tengah Ibukota. Sepasang kekasih yang tak biasa antara Alek (pembuat teks film bajakan) dan Sari (pekerja facial) yang sangat lugu, intim dan hyper ini sudah tentu tak terpikirkan dalam film Indo pada umumnya. Alek menjadi sosok yang amat dekat dengan kita mengingat sebagian besar dari kita pernah menyaksikan film bajakan dengan teks terjemahan yang jelek. Dan Sari dekat bagi mereka kaum perempuan karna pekerjaannya bersinggungan dengan eksistensi wanita sebagai simbol kecantikan duniawi. Hubungan intim yang sering dikaitkan dengan film sampah tidak berlaku dalam ACMM. Berbeda dengan film-film Jupe yang kalau ada pakaian seksi dan adengan seks maka film itu terklaim ‘film sampah’ oleh masyarakat. Adenga

Melancholia

Gambar
Bagi saya, menulis adalah sebuah imajinasi masa depan. Saya sering melihat diri saya sendiri menjadi seorang penulis di kehidupan yang akan datang. Namun, akankah hal itu menjadi nyata? Berikut cerita saya: Saya sudah mengenal dunia baca-membaca sejak kecil. Pada saat mengenyam pendidikan di bangku SD saya selalu membaca komik setiap liburan datang. Saya membaca 2-3 komik perhari, lantaran di seberang rumah saya ada persewaan buku. Saya memiliki penghasilan dari ‘fitrah’ lebaran, tidak tanggung-tanggung uang yang saya kumpulkan bisa mencapi ratusan ribu rupiah pada masa itu. Jumlah itu sangat cukup bagi saya untuk menyewa komik-komik setiap libur sekolah datang. Saya tidak pernah membelanjakan uang yang saya kumpulkan untuk keperluan lain selain menyewa komik. Kebiasaan saya membaca komik masih terbawa hingga SMP. Sayangnya, saya sudah jera menunggu komik-komik baru yang tak kunjung disediakan persewaan komik langganan saya. Sebab, hampir ratusan komik sudah saya baca di per

Filosofi Kopi (2015) : Ambisi dan Kafein

Gambar
Awal April merupakan sibuk-sibuknya bioskop Indonesia. Dimana orang-orang berbondong-bondong mendatangi bioskop untuk menyaksikan film Fast & Furious 7. Atau di berbagai cabang Blitz ramai dengan antrian para pecinta Naruto yang ingin menyaksikan Naruto: The Last Stand . Namun, saya menarik diri dari keramaian tersebut.   Pasalnya, saya sangat menantikan sebuah film dalam negeri berjudul Filosofi Kopi. Saya tidak tahu jika ada orang yang tidak tahu jika film ini bagus. Jujur saja, eskpektasi saya atas film ini sangat tinggi. Saking tingginya, saya takut jika nantinya dibuat kecewa layaknya film Supernova. Sayangnya, kali ini film yang diadaptasi dari novel Dee Lestari “akhirnya” memuaskan. Untuk film ini saya kasih nilai 8 /1 0 , berikut adalah review film Filosofi Kopi versi saya yang diusahakan aman spoiler: Film ini dimulai dengan menyegarkan, dimana suara biji kopi beradu dan dentingan sendok yang bersentuhan dengan gelas melantunkan nada-nada kehangatan kopi.