Postingan

Cheng Sew Club Kembali Ke Desa Tompegunung

Gambar
Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas. Kira-kira ungkapan Eka Kurniawan itulah yang tepat untuk memotivasi kami bertujuh mengunjungi desa Tompegunung. Desa Tompegunung adalah tempat dimana saya dan kawan-kawan dulu pernah menjalankan program KKN. Desa ini letaknya tersembunyi dari keramaian kabupaten Pati. Perlu keteguhan, kesabaran, tekad dan motor tahan banting untuk bisa sampai di sini. Sabtu, 13 Agustus 2016 adalah hari yang kami pilih untuk merajut kenangan di desa Tompe. Rencana awal kami berangkat dari Solo pukul enam pagi. Namanya juga manusia berencana, Tuhan menentukan. Sejak subuh hingga setengah waktu dhuha, kota Solo sudah diguyur hujan deras. Kami baru memulai perjalan sekitar pukul sembilan. Sebuah pagi yang sangat terlambat untuk menempuh perjalanan melawan truk dan bus. Pegal dan deg-degan, rasanya seperti menempuh ujian nasional soal fisika padahal dua tahun jadi anak IPS, kira-kira begitu yang saya rasakan ketika melaju menuju desa Tompe. Di tengah j

Membalut Perbedaan Dengan Mesra Dalam Cinta

Gambar
Meski saya termasuk antisosial, bukan lantas saya tidak memiliki teman sama sekali. Pribadi introvert membuat saya memilih dan memilah lingkungan pertemanan dengan teliti. Bukan bermaksud diskriminatif, hanya saja secara alami insting sosial saya yang menentukan mana teman yang cocok dan mana yang tidak cocok. Tanpa disadari saya membuat lingkaran pertemanan yang sangat ekseklusif. Saya tidak memusuhi mereka yang tidak cocok dengan saya. Di dunia nyata, saya masih menganggap mereka teman. Sedangkan di dunia maya ada beberapa (banyak malahan) yang tidak saya follow bahkan berakhir unfollow dan block pun ada. Mau bagaimana lagi, kalau kita tidak suka dengan konten yang dibagikan teman kita sendiri di sosial media kan ya halal-halal saja kalau di- unfollow atau unfriend . Bukan berarti ngajak ribut, toh di dunia nyata kita tetap berteman. Di samping itu, teman yang menurut saya cocok adalah mereka yang kalau ngobrol bisa nyambung. Meski berbeda-beda karakter dan latar belakang, t

Menarik Diri Dan Memaafkan

Gambar
Tidak butuh waktu lama bagi seseorang untuk membenci sesuatu. Entah peristiwa tertentu, situasi tertentu atau terhadap orang-orang tertentu. Sebaik apapun budi pekertimu, saya yakin ada masa di mana kamu akan membenci sangat dalam. Kebencian sering dibicarakan sebagai sumber perselisihan, sengketa, bahkan berdampak kerusuhan dan kehancuran. Bisa jadi. Tapi banyak juga benci-benci yang tak terluapkan. Terkubur dan menunggu beberapa masa untuk mengurai semua hingga kemudian lenyap tanpa sisa. Ini adalah saat yang tepat untuk menarik diri dari situasi yang membencikan. Ketika seseorang atau beberapa orang memicu sensor kebencian, ketika itu pula upaya defensif akan ter-ON-kan secara otomatis. Bisa saja melalui penyangkalan atau pembelaan. Namun saya selalu punya alternatif, saya memilih menghindar. Pengecut? Mungkin. Menarik diri dari sumber kebencian sama saja menarik diri dari akar permasalahan. Banyak orang akan selalu berkoar-koar bahwa masalah ada untuk diselesaikan. Saya t

Sayat-Sayat Musik Dalam Film John Carney

Gambar
Belakangan ini saya nonton tiga film buatan John Carney, yaitu Once (2006), Begin Again (2013) dan Sing Street (2016). Hebatnya, ketiga film tersebut berhasil meluluhkan hati saya hingga memasukkan nama John Carney sebagai sutradara favorit di antara Steven Spielberg dan Chris Nolan. Tidak seperti kedua sutradara yang saya sebut di atas, John Carney meracik karyanya tanpa cerita rumit dan plot twist serius. Saya rasa Carney ini spesialis film yang melibatkan musik sebagai mainannya. Sebut saja film Once . Film ini bercerita tentang seorang pria patah hati yang menghabiskan waktunya dengan mengamen di jalanan sekaligus membantu ayahnya bekerja di servisan vacum cleaner . Suatu ketika ia bertemu dengan seorang perempuan penjual bunga. Hari demi hari mereka selalu bertemu dan langsung klop begitu saja ketika membicarakan musik. Melalui percakapan itu pula akhirnya diketahui si perempuan tersebut ahli bermain piano. Keduanya pun mencoba untuk menggabungkan musik yang selama i

Sing Street: Memutuskan Keputusasaan

Gambar
Rilis pada tahun 2016, Sing Street memberi penyegaran bagi penonton film yang sebelumnya dimanja oleh film superheroes. Sing Street merupakan film racikan John Carney, yang dikenal sebagai seorang sutradara, penulis sekaligus komposer. Carney menjadikan tanah kelahirannya, Dublin (Irlandia), sebagai set dalam semesta film Sing Street itu sendiri. Dengan menguasai materi secara menyeluruh, Carney berhasil mendapat score bagus dari IMBD 8.1 dan Metascore 79 untuk Sing Street. Sing Street bercerita tentang seorang remaja bernama Conor Lawlor (a.k.a Cosmo) yang mengalami berbagai tekanan, baik dari keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Orangtua Conor mengalami kebangkrutan dari sektor ekonomi dan asmara. Ibunya yang diketahui selingkuh membuat suasana malam sering diramaikan oleh pertengkaran. Untung saja Conor memiliki kakak yang woles, Brendan Lawlor. Melalui Brendan inilah Conor mengenal dan mempelajari musik lengkap dengan falsafahnya. Conor terpaksa belajar di sekolah baru

Curahan Hati Seorang Pertapa Skripsi

Gambar
Tinggal menghintung hari saya akan punya adik tingkat lagi. Bukan apa-apa, hanya saja saya tidak ingin takabur kalau dianggap pertapa suci. Sebagai mahasiswa babak akhir yang tak segera diakhiri, saya sebenarnya sudah cukup lelah dengan keterkejutan muda-mudi maba (mahasiswa baru) ketika saya menyebut bilangan tak wajar dalam tingkatan semester. Mereka yang bercita-cita menyelesaikan kuliah dalam delapan semester tentu terheran-heran mengetahui level studi saya jauh di atas itu. Daripada disebut terheran-heran, lebih tepatnya mereka ketakutan setengah mati kalau nasib mereka bakal seperti saya. Sebab, tidak jarang yang masuk jurusan saya itu muda-mudi salah jurusan. Sama-sama tahulah rasanya kuliah di jurusan yang tidak diinginkan dan akhirnya mencapai fase stuck tidak tahu mana ujungnya. Bisa dibayangkan bagaimana muda-mudi maba dengan mata berbinar-binar menatap masa depan itu tiba-tiba saja syok melihat pertapa skripsi seperti saya. Seolah impian dan cita-cita indah mere

Kematian Alayist di Semesta Facebook

Gambar
Banyak di antara kita yang berpendapat jika facebook adalah barang lama, usang dan gak layak pakai. Bahkan ada yang merasa jijik macam najis mugholadoh gitu. “Yaelaah.. hari gini masih fesbukan? Instagram dong, Path dong..” . Banyak nyinyiran yang ditujukan pada user facebook yang masih aktif, tapi tetap yang paling hits adalah nyinyiran “Facebook? Alay!” . Sebagai aktivis perfesbukan tentu saya merasa bingung dan tratatapan . Lha wong yang posting di IG atau Path saja kadang muncul di Facebook juga kok. Bahkan ada pula yang masih repot-repot upload foto bekas upload -an IG di beranda facebook. Hingar bingar itu saya cuekin saja, kalau kontennya mengganggu ya saya stop following , kalau enggak yaudah saya biarin. Klaim alay yang melekat di facebook ini tak ubahnya catatan buruk dalam sejarah facebook di Indonesia. Karya Mark Zuckerberg ini ngeksis di Indonesia tepat saat saya duduk di bangku SMA. Sekolah saya itu statusnya agak paradoks. Dibilang anak gaul kota enggak, kar

Maaf Ya Kawan

Gambar
Malam lebaran, ketika jalanan yang biasanya hening berubah menjadi lautan manusia dengan kepentingannya masing-masing. Ketika kesunyian berubah menjadi hingar-bingar pestanya para animal simbolicum. Ketika itu pula saya duduk termenung di meja kerja, mencoba berpikir dan merasa, barangkali ada sesuatu yang perlu saya lakukan. Jujur saja, saya ini orang yang kelewat sombong sampai jarang sekali meminta maaf di kala lebaran. Entah kenapa rasanya kok berat kalau saya meminta maaf tanpa tahu salah saya apa. Sudah menyakiti orang lain, pas minta maaf pakai kata-kata kopi paste standar lebaran itu kok kesannya kurang ajar sekali. Dalam benak saya ada yang harus lebih didahulukan daripada meminta maaf, yaitu memaafkan. Saya percaya memaafkan lebih berat daripada minta maaf. Jika yang menghalangi seseorang untuk minta maaf adalah ego, maka penghalang seseorang untuk memaafkan adalah dendam. Berbuat jahat pada orang lain lalu minta maaf itu standar. Kalau dijahati lalu memaafkan itu

Lebaran dan Hantu-Hantu Hedonis

Gambar
Pulang dari acara buka bersama, saya menyempatkan diri mampir ke minimarket untuk membeli cemilan dan sekaleng kopi. Pada saat antri di kasir, saya dapati pembeli lain dengan belanjaan yang kurang masuk akal kalau untuk dihabiskan dalam satu malam. Sirup empat botol, segepok permen, dua lodong astor dan satu gembrengan biskuit. Mata saya kemudian menerawang di balik pintu kaca minimarket sambil bergumam: “inikah yang dimaksud ‘hilal’ sudah terlihat?”. Di daerah saya, untuk mengenali tibanya Hari Raya Idul Fitri sangatlah mudah. Ada beberapa gejala visual yang selalu terjadi: lihat orang belanja siang malam, lihat kembang api, lihat manusia dimensi lain jual uang baru, lihat beras, dan lihat orang-orang minta maaf tapi masih tidak sadar salahnya di mana. Jika semua gejala itu sudah terjadi, maka sudah bisa dipastikan lebaran jatuh pada esok harinya. Hal ini kontras sekali dengan yang saya tahu di Tajikistan melalui buku Garis Batas (Agustinus Wibowo). Tepatnya di Yamchun ada dialog